Kisah mengharukan dari kasta terendah di India
Kita tahu India adalah negara yang menganut sistem kasta. Berdasarkan kitab suci agama Hindu yang menjadi agama mayoritas di sana, yaitu kitab Rig Veda, Brahma melahirkan empat golongan manusia yang disebut Varna (kita biasa menyebutnya dengan warna).
1. Brahmin, adalah kasta tertinggi, merupakan gambaran kepala Brahma. Ia
adalah golongan pemikir yang berhak untuk mengakses dan mengajarkan
kitab suci uma hindu, veda.
2. Ksatrya, merepresentasikan bahu brahma. Karna mereka biasanya terdiri
para pengawal dan tentara abdi negara.
3. Vaysha, sebagai kasta ketiga ini mengambarkan perut dari brahma.
Biasanya mereka adalah golongan pedangang, pebinis dan tukang.
4. Dan yang terakhir yang mengambarkan kaki brahma adalah Shudra. Mereka
adalah golongan pelayan.
Tapi, selain kasta2 tersebut ada golongan diluar 4 kasta diatas. Golongan ini biasanya disebut Panchamas, alias golongan untouchables, yang lebih sering disebut Dalith. Dalith sendiri berarti rusak, alias broken people. Golongan ini tidak boleh berhubungan dengan kasta manapun. Mereka terlahir sebagai manusia kotor, manusia setengah hewan. Mereka bahkan tidak boleh melewati depan rumah para pemilik kasta tinggi, apalagi bersentuhan. Jika berpapasan di tengah jalan dia harus menunduk dan menunggu sampai orang yang kastanya lebih tinggi itu lewat. Mereka harus bertransaksi dan berjual beli diantara mereka sendiri. Mereka tidak boleh memasuki candi kecuali untuk membersihkan candi tersebut. Tidak hanya itu, Perumahan orang-orang Dalith ini harus 500 meter dari perkampungan orang-orang yang punya kasta tinggi. Orang-orang Dalith ini dipekerjakan untuk-untuk hal-hal yang dianggap kotor, termasuk mencuci dan membersihkan jasad. Mereka juga berkerja diladang-ladang dan sawah-sawah. Ironinya, mereka tidak digaji, karna mereka hanya punya hak mendapatkan jatah makanan dari sisa para tuan dengan cara dilempar atau dari kejauhan.
Jika warga dalith tidak bisa bersentuhan apalagi bergaul dengan warga pemilik kasta, tidak demikian dengan para perempuannya. Untouchabality berlaku untuk semua dalith, kecuali untuk masalah hubungan seksual. Relasi seksual ini bahkan menjadi bagian kepercayaan agama Hindu. Sebagian perempuan dari Dalith didedikasikan sebagai Devadasi, yang berarti “perempuan persembahan”.
Salah satu perempuan yang dijadikan wanita persembahan bernama Parvati, sejak umur 13 tahun dia dipersembahkan kedua orang tuanya kepada Yellamma (pemimpin agama). Sejak umur 13th hingga sekarang ia sudah melayani puluhan yelamma. Pada dasarnya seorang devadasi dirawat oleh satu yellamma, namun pada praktiknya ia harus melayani banyak laki-laki, termasuk dari kasta tinggi lainnya. Tidak heran ia tidak tahu siapa bapak dari anak – anaknya. Mata pencarian Parvati adalah mengemis, dan sesekali mendapat tugas membersihkan candi. Tentu saja itu dilakukan jika tidak ada “jadwal” dengan para lelaki. Jika ada, ia harus menanti kedatangan mereka dirumahnya. Dan jika ia beruntung, lelaki yang datang akan membawakan makanan untuknya atau sedikit uang. Parvati dan semua devadasi lainnya tak punya hak untuk menolak lelaki yang datang untuknya. Menurut para yellamma, ini adalah tugas suci yang sudah ditakdirkan untuk para devadasi. Semua perempuan persembahan berasal dari warga dalith yang kebanyakan diserahkan oleh orang tuanya karena himpitan ekonomi dan tuntutan tradisi yang mengharuskan golongan nya menyerahkan anak perempuan untuk di jadikan persembahan.
Untuk menjadi seorang perempuan persembahan, para perempuan devadasi harus melakukan ritual pada malam purnama ketika berumur 9-12 tahun. Ketika kalung manik berwarna hitam atau merah melingkar dileher mereka, maka resmilah mereka menjadi devadasi. Setelah itu mereka mulai menjadi “simpanan” gratis. Sejak didaulat menjadi persembahan mereka seakan menjadi hidangan bagi “pendeta”. Mereka tidak bisa menolak, tapi harus melakukan dan melayani seperti istri. Tapi tidak dapat hak seperti istri. Bahkan anak-anak yang lahir dari rahim Devadasi tidak boleh mengenal bapaknya. Mereka pun harus menghidupi diri sendiri dengan cara mengemis dan meminta sedekah.
Tidak hanya menghancurkan masa depan, tetapi para devadasi juga diracuni pikirannya, ini dikarena kan mereka tidak pernah menyicip pendidikan yang seharusnya merupakan hak asasi manusia. Ketika devadasi dipersembahkan, pihak keluarga diberikan pandangan bahwa seorang devadasi adalah orang yang beruntung, dengan menjadi devadasi akan mengangkat derajat keluarga, mereka akan melayani tuhan dan otomatis berarti menjadi bagian dari kehidupan pemilik kasta tinggi. Terlebih selain hak hidupnya di lindungi , juga membantu ekonomi keluarga, karena pada saat menyerahkan anaknya, seorang ibu akan mendapatkan mahar sebagai pengganti sang anak. Jika beruntung mendapatkan yellama yang baik ia akan diberi tunjangan bulanan.
Adapun seseorang yang dipilih sebagai devadasi karena mereka memiliki rambut gimbal. Para kaum dalith percaya dan kepercayaan ini dimanfaatkan oleh pendeta, jika seorang anak perempuan berambut gimbal, artinya ia dipilih oleh yellamma sebagai persembahan, apabila mereka menolak takdir itu yellamma akan mengutuk mereka. Sejak di daulat menjadi persembahan, pada devadasi disiapkan menjadi “hidangan” untuk pendeta. Jadi, sejak mengalami menstruasi pertama, sudah ada pendeta yang menjadi “juragannya”. Ia harus siap sedia kapan pun pendeta itu membutuhkannya untuk melayani apa kebutuhannya, hingga menemani tidurnya. Ia tidak berhak menyandang status istri meski menjalankan fungsi seksual layaknya istri. Mereka jug atidak berhak menjadi istri pria lain. Bahkan anak – anak yang dilahirkan dari rahim devadasi tidak diperbolehkan mengenal nama “bapak”nya.
Bagaimana dengan pihak pemerintah di India sendiri? Walau ini sudah dilarang sejak tahun 1934 ‘Bombay (Mumbay) State’ dan ‘Karnata Devadasi Act’ tahun 1984 yakni bagi siapa yang mempersembahkan anak perempuan menjadi devadasi dikenakan denda 5000 Rupee atau sekitar Rp.1.250.000 tapi ini masih belum bisa benar hilang-hilang. Dikarenakan pemerintah sangat lemah ketika harus berhadapan dengan tradisi yang telah melekat di masyarakat, hal ini membuat perempuan-perempuan dari keturunan Dalith pasrah menerima kordat.
semoga kita menjadi orang yang terus bersyukur,,,
0 komentar:
Posting Komentar